BannerFans.com

Mutiara Hadist

" Sesungguhnya Allah SWT. berfirman pada hari kiamat : Mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku ? hari ini akan Aku naungi ( tolong ) mereka, dimana tidak ada naungan ( pertolongan ) yang lain selain dari-Ku. " ( HR. Muslim )

Sponsors

Promo




Senin, 28 Mei 2007

Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia Selama Masa Orde Baru


Photo : Kerusuhan Mei 1998 di Medan

1965
1. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan Darat.
2. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini.

1966
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
3. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.

1967
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta.
3. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.

1969
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
4. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.

1970
1. Pelarangan demo mahasiswa.
2. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.

1971:
1. Usaha peleburan partai- partai.
2. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
3. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
4. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.

1972
1. Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.

1973
1. Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung.

1974
1. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
2. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.

1975
1. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.

1977
1. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
2. Kasus tanah Siria- ria.
3. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
4. Kasus subversi komando Jihad.

1978
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
2. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
3. Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.

1980
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
2. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negri.

1981
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.

1982
1. Kasus Tanah Rawa Bilal.
2. Kasus Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
3. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.

1983
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
2. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.

1984
1. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
4. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.

1985
1. Pengadilan terhadap aktivis- aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.

1986
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
2. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
3. Kasus subversi terhadap Sanusi.
4. Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.

1989
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus tanah Kemayoran.
4. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari
5. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
6. Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.

1991
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.

1992
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaannya Tommy Suharto.
2. Penangkapan Xanana Gusmao.

1993
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993

1994
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.

1995
1. Kasus Tanah Koja.
2. Kerusuhan di Flores.

1996
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus tanah Balongan.
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
4. Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
6. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamungkas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkunjung di sana.
7. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
9. Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.

1997
1. Kasus tanah Kemayoran.
2. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.

1998
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei.
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.

1999
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
3. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.
4. Penyerangan terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1999.

sumber dari : www.sekitarkita.com

Selasa, 22 Mei 2007

Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908

Budi Utomo adalah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.

Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.


Latar Belakang

Budi Utomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.

Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa orang-orang lain mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan sendiri dan tidak mau mengajak, bahkan tidak menerima, orang Jawa sesama penduduk Pulau Jawa untuk menjadi anggota perkumpulan yang eksklusif, seperti Tiong Hoa Hwee Koan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda jelas juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib rakyat kecil kaum pribumi, bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.

Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda, dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan, atau pendidikannya.

Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura, yang untuk mudahnya disebut saja suku bangsa Jawa. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi, dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa, terutama Sumatera, Manado, dan Ambon. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya. Dengan demikian, sekali lagi pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja karena, menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.

Sekalipun para pemuda itu merasa tidak tahu banyak tentang nasib, keadaan, sejarah, dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, mereka tahu bahwa saat itu orang Manado mendapat gaji lebih banyak dan diperlakukan lebih baik daripada orang Jawa. Padahal, dari sisi pendidikan, keduanya berjenjang sama. Itulah sebabnya pemuda Soetomo dan kawan-kawan tidak mengajak pemuda-pemuda di luar Jawa untuk bekerja sama, hanya karena khawatir untuk ditolak.

Budi Utomo

Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa "kaum tua"-lah yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.

Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.

Perkembangan

Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.

Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman.

Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.

Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.

Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme Indonesia" tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa, Makassar maupun Ambon.

Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota.

Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme "Indonesia" ada dan merupakan unsur yang paling penting.

dikutip dari berbagai sumber

Rabu, 16 Mei 2007

Reformasi Indonesia, 1998













Photo : Pernyataan Pengunduran Diri Soeharto














Photo : Mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR

Latar Belakang

Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.

Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Garis Waktu

  • 22 Januari 1998
    • Rupiah tembus 17.000,- per dolar AS, IMF tidak menunjukkan rencana bantuannya.
  • 10 Maret
    • Soeharto terpilih kembali untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kali dengan menggandeng B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden.
  • 9 Mei
    • Soeharto berangkat seminggu ke Mesir.
  • 13 Mei
    • Kerusuhan Mei 1998 pecah di Jakarta. Kerusuhan juga terjadi di kota Solo.
    • Soeharto yang sedang menghadiri pertemuan negara-negara berkembang G-15 di Kairo, Mesir, memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sebelumnya, dalam pertemuan tatap muka dengan masyarakat Indonesia di Kairo, Soeharto menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.
    • Etnis Tionghoa mulai eksodus meninggalkan Indonesia.
  • 14 Mei
    • Demonstrasi terus bertambah besar hampir di seluruh kota-kota di Indonesia, demonstran mengepung dan menduduki gedung-gedung DPRD di daerah.
  • 20 Mei
    • Amien Rais membatalkan rencana demonstrasi besar-besaran di Monas, setelah 80.000 tentara bersiaga di kawasan Monas.
    • 500.000 orang berdemonstrasi di Yogyakarta, termasuk Sultan Hamengkubuwono X. Demonstrasi besar lainnya juga terjadi di Surakarta, Medan, Bandung.
    • Harmoko mengatakan Soeharto sebaiknya mengundurkan diri pada Jumat, 22 Mei, atau DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru
    • Sebelas menteri kabinet mengundurkan diri, termasuk Ginandjar Kartasasmita, milyuner kayu Bob Hasan, dan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin.

  • 21 Mei
    • Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 9.00 WIB
    • Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi presiden baru Indonesia.
    • Jenderal Wiranto mengatakan ABRI akan tetap melindungi presiden dan mantan-mantan presiden.
    • Terjadi perdebatan tentang proses transisi ini. Yusril Ihza Mahendra, salah satu yang pertama mengatakan bahwa proses pengalihan kekuasaan adalah sah dan konstitusional.
  • 22 Mei
    • Habibie mengumumkan susunan "Kabinet Reformasi".
    • Letjen Prabowo Subiyanto dicopot dari jabatan Panglima Kostrad.
    • Di Gedung DPR/MPR, bentrokan hampir terjadi antara pendukung Habibie yang memakai simbol-simbol dan atribut keagamaan dengan mahasiswa yang masih bertahan di Gedung DPR/MPR. Mahasiswa menganggap bahwa Habibie masih tetap bagian dari Rezim Orde Baru. Tentara mengevakuasi mahasiswa dari Gedung DPR/MPR ke Universitas Atma Jaya
sumber dari Wikipedia Indonesia

Sabtu, 12 Mei 2007

Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998

Photo : Seorang mahasiswi tergeletak di jalan setelah pecah bentrokan antara petugas keamanan dan para mahasiswa Universitas Trisakti dalam unjuk keprihatinan di depan Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Selasa (12/5/1998) petang

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.

Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada.

Latar Belakang

Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.

Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri--militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.

Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.

Satuan pengamanan yang berada dilokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.

Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.

Kronologi Kejadian

  • 10.30 -10.45
    • Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan. Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
  • 10.45-11.00
    • Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.
  • 11.00-12.25
    • Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen, karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.
  • 12.25-12.30
    • Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
  • 12.30-12.40
    • Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang) dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib pada saat turun ke jalan.
  • 12.40-12.50
    • Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar.
  • 12.50-13.00
    • Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Walikota Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan.
  • 13.00-13.20
    • Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Sementara negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.
  • 13.20-13.30
    • Tim negoisasi kembali dan menjelaskan hasil negoisasi di mana long march tidak diperbolehkan dengan alasan oleh kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Dilain pihak pada saat yang hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
  • 13.30-14.00
    • Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
  • 14.00-16.45
    • Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.
    • Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
  • 16.45-16.55
    • Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tapi setelah dibujuk oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau bergerak mundur.
  • 16.55-17.00
    • Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.
    • Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat yang menyamar.
  • 17.00-17.05
    • Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta Kapolres agar masing-masing baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama mundur.
  • 17.05-18.30
    • Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
    • Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata dihampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang berada diantara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.
    • Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
    • Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
    • Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
  • 18.30-19.00
    • Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju RS.
  • 19.00-19.30
    • Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi.
  • 19.30-20.00
    • Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
  • 20.00-23.25
    • Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban, mahasiswa berangsur-angsur pulang.
    • Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi

sumber: Siaran Pers Senat Mahasiswa Trisakti dan Arsip berita Kompas 13 Mei 1998

dikutip dari Wikipedia Indonesia

Kamis, 10 Mei 2007

Hijrah Divisi Siliwangi, 1 Februari 1948

Photo : Pasukan dari Divisi Siliwangi Tahun 1946

1 Februari 1948, di Cirebon, ribuan tentara dari Jawa Barat mulai bergerak meninggalkan daerah Jawa Barat menuju Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kepindahan besar-besaran ini kelak masyhur disebut sebagai Hijrah Divisi Siliwangi.
Sebagian anggota Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah melalui laut. Mereka diangkut dari pelabuhan Cirebon menuju pelabuhan Rembang. Sebagian lagi diangkut lewat kereta api. Anggota Siliwangi yang dikirim lewat kereta berkumpul lebih dulu di stasiun Parujakan (1 km sebelah selatan dari stasiun Cirebon sekarang) untuk diangkut ke Yogya.

Hijrah merupakan konsekuensi kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Belanda pada Perundingan Renville. Salah satu klausul kesepakatan menyebutkan pemerintah Indonesia harus mengosongkan daerah-daerah yang masuk Garis van Mook, di antaranya Jawa Barat. Itu artinya, tentara dan aparat pemerintahan harus hijrah ke wilayah resmi Indonesia yang hanya meliputi Yogyakarta, Surakarta, Kediri, Kedu, Madiun, sebagian keresidenan Semarang, Pekalongan, Tegal bagian selatan dan Banyumas.

Selain Divisi Siliwangi, tentara Indonesia di daerah lain yang masuk garis van Mook juga harus pindah. Di Jawa Timur, sekira 6000 tentara harus hijrah ke daerah Indonesia. Sementara di Sumatera tidak banyak yang harus dihijrahkan karena pasukan Indonesia yang berada di daerah van Mook tidaklah banyak. Pasukan Siliwangi, yang dipimpin Kolonel AH Nasution, menjadi pasukan hijrah terbanyak.

Sebenarnya, di kalangan tentara Indonesia telah timbul rasa kecewa terhadap perintah hijrah tersebut. Cukup banyak tentara Indonesia yang bahkan meminta berhenti sebagai protes. Pada 9 Januari 1948, Letnan Oerip Soemohardjo dan Didi penasehat militer delegasi Indonesia dalam Perundingan Renville sudah menentang keras ultimatum yang dikeluarkan van Mook. Oerip Soemohardjo bahkan sempat mengundurkan diri sebagai bentuk pernyataan protes.
Kendati demikian, hijrahnya Divisi Siliwangi ini bukannya tak memunculkan polemik. Ketika pemerintah melansir reorganisasi militer Indonesia yang memangkas nyaris separuh jumlah tentara Indonesia. Beleid itu memunculkan perlawanan dan protes dari banyak kalangan, termasuk dari beberapa komandan batalyon yang berbasis di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pasukan Siliwangi adalah pendukung utama beleid rasionalisasi itu sehingga kekuatan antara yang pro dan kontra rasionalisasi menjadi lebih seimbang. Pasukan Siliwangi, yang lebih lengkap persenjataannya dan relatif lebih disiplin dan modern, menjadi pasukan elit yang tampak diistimewakan, terlebih konsep dan cetak biru rasionalisasi memang disusun berdasarkan gagasan Nasution. Muncul rasa tidak puas dan kecemburuan dari beberapa batalyon yang harus kehilangan banyak tentaranya akibat program rasionalisasi tersebut.
Selama fase hijrah yang disertai polemik itu, pasukan Siliwangi menjadi andalan utama pemerintahan Hatta dalam membangun strategi pertahanan-keamanan, termasuk untuk menghentikan aksi sepihak Front Demokratik Rakyat (FDR) yang ditulangunggungi oleh PKI di Madiun pada September 1948. Pada 30 September 1948, pasukan Siliwangi yang dipimpin Brigade Sadikin dan Kusno Utomo dan dari Batalyon Kiansantang berhasil menguasai Madiun. Setelah Yogyakarta dikuasai Belanda lewat Agresi Militer II, pasukan Siliwangi mematuhi perintah Soedirman untuk mengundurkan diri ke luar kota Yogyakarta. Dari pinggiran kota Yogyakarta itulah, Divisi Siliwangi ikut menggelar perlawanan gerilya.

Pasca Konferensi Meja Bundar, pasukan Siliwangi kembali ke puaknya melalui prosesi yang masyhur disebut sebagai long march. Bagi pasukan Siliwangi, hijrah dan long march tak hanya menjadi perpindahan raga yang melintasi ruas teritorial dan geografis semata, tapi sekaligus menjadi perayaan atas upacara perlintasan (rites de passage) yang menjadi pengejawantahan konkrit sebuah perjalanan spiritual.

Dari sanalah pasukan Siliwangi membangun identitas sekaligus menganyam legenda dirinya sendiri.

dikutip dari berbagai sumber

Senin, 07 Mei 2007

Agresi Militer Belanda II ( 1948 )


Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta ibukota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tunggal dalam kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.

Serangan Ke Maguwo

Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting. Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai."

Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.

Pemerintah Darurat


Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.

Perang Gerilya


Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka terpaksa pula menghadapi gerombolan DI/TII.

dikutip dari wikipedia indonesia

Jumat, 04 Mei 2007

Operasi Seroja ( Timor Timur, 1975 - 1979 )











Photo : Pesawat B-26 TNI AU beroperasi di Timtim tanpa tanda pengenal - Dispen AU
















Photo : Sebuah Bell-206 Jet Ranger Deraya tinggal landas dari Tingon pada bulan Oktober 1975 - Dok. Djumaryo
















Photo : Paskhas TNI AU tiba di Lanud Penfui, Kupang dengan pesawat Garuda pada Desember 1975 - Dok. Djumaryo

Hanya sekitar tujuh jam, Minggu 7 Desember 1975, Kota Dili dikuasai lewat operasi lintas udara (Linud) terbesar dalam sejarah ABRI. Grup-1 Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad yang sebagian besar dari Batalion-502/Raiders Jawa Timur itu, diterjunkan dari sembilan pesawat angkut C-130B Hercules TNI AU.

Menjelang jam 05.00 WITA, BTP-5 (Batalion Tim Pendarat)/Infanteri Marinir, mengendap-endap di pantai Kampung Alor. Dengan dukungan tembakan kanon kapal perang TNI AL, BTP-5 mengawali rencana besar operasi perebutan Kota Dili, 7 Desember 1975. Operasi ini merupakan kelanjutan "Operasi Komodo" yang digelar Bakin awal 1975, untuk mengantisipasi makin keruhnya peta politik di Timor Loro Sae (Timor Negeri Matahari Terbit).

Euphoria politik yang berkepanjangan ini, memaksa Indonesia meningkatkan operasi menjadi operasi Sandhi Yudha (combat inteligence) terbatas dengan sandi "Operasi Flamboyan". Operasi yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi dengan inti pasukan pemukul operasi Grup-1 Para Komando/Kopassandha yang menempatkan Detasemen Tempur-2 (Denpur) di perbatasan sejak Oktober 1975 inilah, yang kemudian berubah ujud menjadi "Operasi Seroja".

Perebutan Dili yang didahului operasi ampibi ini, diputuskan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M Panggabean, 4 Desember di Kupang. Operasinya sendiri dilakukan melalui pertimbangan dan analisa lapangan setelah melihat pergerakan pasukan Fretilin. Bukan sepihak, ketegasan sikap Indonesia juga didasari keinginan rakyat Timor Portugal berintegrasi dengan Indonesia. Sikap yang diwakili empat partai Apodeti (Associacao Popular Democratica de Timor), UDT (Uniao Democratica de Timorense), KOTA (Klibur Oan Timor Aswain), dan Trabalista itu dikenal dengan Deklarasi Balibo, 30 Nopember 1975. Sikap yang sekaligus menandingi deklarasi berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur secara sepihak oleh partai Fretilin (Fronte Revolucionaria de Timor Leste Independente), dua hari sebelumnya.

Sebelum perebutan Dili, Fretilin sudah terlibat baku tembak dengan pasukan ABRI dalam perebutan Benteng Batugade (7 Oktober). Alasan berikutnya, meningkatnya pelanggaran perbatasan diselingi perampokkan ternak oleh Fretilin di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pelanggaran yang meningkat sejak Juni 1975 itu, sering tertangkap basah oleh ABRI hingga menimbulkan tembak-menembak. Korban mulai berjatuhan.

Lebih seru lagi, sejak 1 Oktober, Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) Operasi Seroja mendeteksi keberadaan dua kapal perang kelas frigat AL Portugal di sekitar Timor. Celakanya, 7 Desember pagi, kedua kapal tersebut justru merapat di lepas pantai Dili. "Mereka buang jangkar lebih dekat ke pulau Atauro, karena di sana bercokol pemerintahan pelarian Portugal dari Timor," kata Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput saat itu. Entah kebetulan, di selat yang memisahkan pulau Atauro dan pulau Alor ini, tiga formasi arrow Hercules satu formasi tiga pesawat akan membuat manuver abeam (posisi pesawat 90 derajat terhadap suatu check point di sisi kiri atau kanan pesawat).

Gunship

Menjelang berakhirnya tanggal 6 Desember 1975, di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, di luar kebiasaan, ratusan pasukan berperalatan lengkap berseliweran. Sebagian menyandang parasut T-10 buatan Amerika, separuh lagi senapan serbu AK-47 buatan Soviet. Di apron, sembilan pesawat angkut berat C-130B Hercules Skadron 31, siap terbang. Beberapa air crew menyempatkan melakukan pemeriksaan akhir sebelum mengudara.

Kesembilan pesawat ini tiba di Iswahyudi siang itu. Letkol Pnb. Suakadirul menuturkan, perintah berangkat ke Iswahyudi diterimanya Jumat, 5 Desember, dari Kol. Pnb. Susetyo, Komandan Satuan Tugas Udara Operasi Seroja. Isi perintah: usai shalat Jumat, seluruh anggota Skadron 31 kembali ke tempat masing-masing. Tidak seorangpun dibenarkan pulang. "Saya belum tahu kemana arah perintah itu. Tapi saya bisa menduga dengan melihat perkembangan situasi di lapangan," ingat Marsda (Pur) Suakadirul.

Dalam perintah rahasianya, Komandan Skadron 31 diminta menyiapkan 12 pesawat untuk mengangkut satu batalion paratroops. "Jadi saya harus menyiapkan 12 set crew. Pilot, co-pilot, navigator, engineer, radio telegrafis, load master dan pembantunya. Jumlahnya sekitar 120 orang," katanya. Kebetulan dua pesawatnya dalam perawatan, hanya 10 pesawat bisa disiapkan. Dalam jajaran penerbangnya, Suakadirul sengaja menempatkan dua penerbang senior Letkol Pnb. Siboen dan Kol.Pnb. Suhardjo. "Sebagai panutan, lah."

Maka, esok harinya, sembilan Hercules bertolak dari Halim Perdanakusuma menuju Iswahyudi. Tiga diantaranya mengangkut Kopassandha. Baru di Madiun lah, sorenya, Suakadirul mendapat kejelasan bahwa akan dilakukan operasi pen-drop-an pasukan di Dili. Untuk itu, armadanya akan mengangkut satu batalion pasukan payung. "Satu pesawat memuat 100 orang," jelas Hendro, wartawan yang meliput. Pada hari yang sama di Timor, Batalion-403/Raiders Kostrad tiba di lepas pantai Tailaco dengan LST KRI Teluk Bone. Sorenya, disusul BTP-5/Infantri Brigade-1/Pasrat Marinir masuk LST untuk persiapan pendaratan ampibi di Dili jam 05.00 esok harinya.

Tanggal 6 Desember, jam 23.50, flight leader Letkol Pnb. Suakadirul, memulai operasi dengan menerbangkan Hercules T-1308. Berturut-turut, dipekatnya malam, kedelapan pesawat meninggalkan landasan pacu Lanud Iswahyudi. Pesawat bergerak ke arah Ponorogo, terus heading ke timur sambil menyusun formasi. Dalam penerbangan antara Ponorogo dan Denpasar, sembilan pesawat mulai membentuk formasi arrow dengan panduan exhaust dan lampu take off pesawat.

Sifat operasi pendadakan. Formasi sembilan Hercules ini diberi sandi Rajawali Flight. Untuk menjaga kerahasiaan, selama penerbangan diterapkan radio silence. Komunikasi antar penerbang dilakukan menggunakan morse. Pesawat terus naik hingga mencapai ketinggian 22.000 kaki dengan kecepatan 280 knot. Di utara Denpasar, leader mengirim morse ke Air Traffic Control (ATC) Bandara Ngurah Rai: Rajawali abeam Denpasar. Lewat Denpasar, Suakadirul kontak Lanud Penfui, Kupang, untuk menginformasikan posisi Rajawali flight pada beberapa check point ke Markas Komando Operasi Seroja di kapal tender kapal selam KRI Ratulangi.

T-1308 yang paling lambat terbangnya, dipilih sebagai flight leader agar pesawat lain sebagai wingman mudah menyesuaikan dalam terbang formasi. Bertindak sebagai wingman, Letkol Pnb. Sudjiharsono (kiri) dan Kol.Pnb.Suhardjo (kanan). Formasi arrow kedua, dua mil dibelakangnya, diterbangkan Letkol Pnb.Siboen (leader), Letkol Pnb.O H Wello (kiri), dan Letkol Pnb.Sukandar (kanan). Arrow ketiga dipimpin Letkol Pnb.Masulili dan Mayor Pnb.Achlid Muchlas/Mayor Pnb.Sudiyarso (kiri) serta Mayor Pnb.Murdowo (kanan).

Suakadirul menggambarkan, suasana begitu senyap di pesawat. Desah nafas mereka mengeras, maklum, operasi Linud pertama di Dili dan terbesar bagi Hercules sepanjang sejarah ABRI. Menunggu tentu membosankan. Apalagi tujuan medan perang. Perhitungannya, penerbangan ke Dili memakan waktu 4 jam 50 menit. Sementara tiap pesawat membawa 42.000 pound avtur JP-4, yang cukup untuk penerbangan 10 jam 30 menit.

Garis besarnya, operasi penerjunan untuk merebut Kota Dili dari Fretilin dilakukan dalam tiga sortie. Sortie pertama dengan sasaran Dili, akan diterjunkan Grup-1 Kopassandha dipimpin Letkol (Inf) Soegito dan Batalion Infantri Linud 501 di bawah komando Letkol (Inf) Matrodji. Sortie kedua, dari Lanud Penfui, Kupang, menyusul Batalion 502 di bawah Mayor (Inf) Warsito dengan target Komoro. Khusus Baret Merah, dalam operasi ini dipelopori Denpur-1, disebut juga Nanggala-5, di bawah komandan Mayor (Inf) Atang Sutisna. Sortie ketiga, direncanakan juga dari Kupang.

Letkol Soegito membagi Nanggala-5 ke dalam tiga tim. Tim-A dipimpin Mayor Atang Sutisna, melaksanakan perebutan kantor gubernur. Tim-B dipimpin Lettu Atang Sanjaya, merebut pelabuhan Dili. Sedang Tim-C dipimpin Lettu Luhut Panjaitan, merebut lapangan terbang Dili. Ketiga tim disebar ke dalam empat Hercules terdepan, dengan perhitungan jika salah satu pesawat mengalami gangguan atau tertembak, tim bisa berharap pada pesawat berikutnya. Artinya, operasi harus tetap jalan.

Pasukan sortie kedua dan ketiga yang akan diberangkatkan dari Kupang, berasal dari Jakarta dan Jawa Timur. Karena terbatasnya kemampuan TNI AU dalam mendukung angkutan udara, pengiriman pasukan ke Kupang diputuskan menggunakan pesawat Garuda Indonesian Airways. Garuda menjembatani pengiriman pasukan dari Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi menggunakan 17 F-28 dan empat F-27 Friendship. Operasi jembatan udara ini dipimpin langsung direktur utamanya Wiweko Supono.

Untuk mempertahankan pendadakan, tentu tidak sekadar mengandalkan pemahaman topografi. Serangan udara juga berperan. Perebutan Irian Barat memperoleh keunggulan di udara, karena didukung pesawat tempur. Pesawat pembom dan angkutnya, juga mendapat close air support. Sebaliknya, untuk Dili, bantuan tembakan udara (BTU) justru masalah. Ini disebabkan seluruh pesawat P-51 Mustang Skadron 3/Tempur Taktis dinyatakan grounded, setelah kecelakaan beruntun menewaskan, diantaranya, Mayor Pnb Sriyono. Sedangkan pesawat latih lanjut T-33 T-Bird (versi militernya Shooting Star) dan F-86 Sabre bantuan Australia, belum dipersenjatai. Dari tujuh bomber B-26 Invader Skadron 2/Pembom Taktis, hanya dua yang serviceable. Penerbang pesawat peninggalan PD II inipun, hanya dua orang yang masih berkualifikasi. Yaitu Letkol Pnb Danendra (Danlanud Penfui) dan Mayor Pnb Soemarsono, yang ditarik kembali dari Pelita Air Service.

Pentingnya BTU sangat disadari Amerika ketika di palagan Vietnam. Tidak heran kemudian, Jenderal USAF John P McConnel mengusulkan modifikasi C-47 menjadi gunship untuk mendukung bantuan tembakan udara. Dakota itu kemudian populer dengan sebutan Gooney Bird. Sebutannya pun diganti menjadi AC-47 mulanya FC-47. Pesawat yang dilengkapi tiga senapan mesin kaliber 7,62 mm di sisi, selama perang Vietnam digunakan USAF sebanyak 20 pesawat di samping AC-130 Spectre Gunship.

Terinspirasi oleh kepopuleran gunship ini, dua pesawat C-47 Dakota Skadron 2/Angkut Ringan TNI AU, dibedah menjadi AC-47 gunship. Mekanik dan teknisi Depopesbang 10 Bandung, menjejali dengan tiga senapan mesin kaliber 0,50 mm. Untuk mengenal medan, ujicoba penembakan dilakukan di sepanjang perbatasan Timor Portugal bulan September 1975. Jadilah dua B-26 dan dua AC-47, direncanakan memberikan BTU dalam mendukung operasi Linud 7 Desember.

Go!

Pesawat terus bergerak dalam kesunyian. Sesekali, bunyi morse memecah keheningan. Di timur Flores, Rajawali flight perlahan-lahan turun ke 5.000 kaki sambil menyusun formasi penerjunan. Persis di atas pulau Alor pada ketinggian 7.000 kaki, lampu merah dekat pintu menyala dan bel berdering pendek tiga kali sebagai tanda pasukan mulai berdiri untuk persiapan.

Waktu penerjunan menjelang lampu hijau tinggal 10 menit lagi. Anggota Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad, mencantolkan pengait pada ujung strop di kabel baja yang merentang di kabin. Dengan sigap, posisi ransel, senjata, dan perlengkapan perorangan lainnya dibenahi. Hampir tidak ada suara. Semua membisu dalam kesibukkan masing-masing.

Abeam Atauro, pesawat sudah di 5.000 kaki. Karena radar pesawat digunakan untuk cuaca, Suakadirul dibuat kaget ketika melongokkan kepalanya melihat dua kapal frigat Portugis Joao Roby dan Alfonso de Albuquerque lego jangkar di lepas pantai Atauro. "Tidak ada informasi dua kapal frigat dilengkapi radar dan sonar, buang sauh di Atauro," protes Suakadirul. Aneh. Padahal, KRI Ratulangi sudah berpapasan dengan Joao Roby di perairan Timor, 23 Oktober. Hebat lagi, sejak 1 Oktober keberadaan kapal yang memiliki 3 kanon 100 mm ini sebenarnya sudah diketahui. "Saya tidak mengerti soal itu," jawab Suakadirul.

Pintu kiri-kanan pesawat mulai dibuka. Kecepatan dikurangi hingga 110 knot. "Saya bilang kita 5.000 kaki. Lampu kuning menyala, terus depressurized," cerita Suakadirul. Waktu tersisa menuju dropping zone (DZ) tinggal empat menit. Perlahan, jarak horizontal antar pesawat di perpendek hingga 300 kaki (sekitar 100 meter). Demikian pula jarak vertikal antar pesawat, hanya selisih 50 kaki. "Saya berada pada ketinggian 900 kaki," ucap Suakadirul. Jadi kalau dihitung hingga pesawat terakhir, ketinggiannya 1.250 kaki.

Mendekati pantai Dili, dengan referensi Tanjung Fatukama, Rajawali flight belok kanan langsung menuju jantung kota Dili. Agar pesawat mampu terbang pada kecepatan 110 knot, menurut Suakadirul, flap diturunkan sebesar 50 persen. Bagi Suakadirul, Dili bukan hal baru. Tahun 1970, lulusan Chekoslowakia ini telah mondar-mandir dengan Dakota milik Zamrud rute Denpasar, Rembiga, Sumbawa, Kupang dan Dili untuk RON (remain over night). Sementara, navigator buka suara, "2 menit ahead."

Sembilan pesawat muncul dari balik perbukitan tanpa lindungan (escort) B-26 dan AC-47. Bel berdering panjang sekitar lima detik setelah Hercules T-1308 terbang melintas di atas sisi barat perkampungan nelayan. Jam di tangan Suakadirul menunjukkan pukul 05.45, bertepatan perubahan lampu kuning menjadi lampu hijau. "Kerongkongan saya mendadak kering," ujar Suakadirul.

Hanya dalam hitungan detik menjelang jam 05.45, jumping master berteriak. "Penerjun siap?" Dilanjutkannya dengan perintah, "Sedia di pintu!" Sekian detik kemudian, jumping master berteriak lebih keras. "Go!"

Mengambil arah 260 derajat atau hampir ke barat pada garis sejajar dengan jalan Dr. Antonio de Carvalho di tengah Kota Dili, anggota pertama melompat dari Hercules T-1308. Ratusan kemudian, berbaur dari Kopassandha dan Kostrad, melompat dari tiap pesawat. Dalam empat hitungan, parasut T-10 berwarna hijau zaitun terkembang dikeremangan pagi di atas Dili. Karena komunikasi segitiga Fretilin, Dili-Atauro-kapal frigat sudah terjalin rapi, penerjunan sortie pertama kehilangan faktor pendadakan. Pasukan diberondong secara sporadis dari bawah. Peluru api (tracer) yang dilepas Fretilin, bagai kunang-kunang memenuhi langit.

Pasukan Linud yang masih mengambang, balik menembak. Maka, pagi itu, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Linud dan gerombolan Fretilin. Entah digunakan pada saat D-day, beberapa bulan sebelumnya menurut Hendro, 15.000 pucuk senjata peninggalan Portugal dibagi-bagikan Fretilin untuk mempersenjatai rakyat. Sesungguhnya juga, Fretilin telah siaga begitu listrik dipadamkan jam 03.00 bertepatan pendaratan marinir disertai tembakan kanon dari kapal TNI AL. Dan radar Plessey dua kapal frigat Portugal pun, tentu tidak tidur.

Dapat dibayangkan perjuangan hidup-mati pasukan Linud. Tidak semua mendarat dengan selamat. Ada yang kandas di atap rumah, tersangkut di pohon atau di pagar. Yang mendarat di lapangan terbuka di tengah kota, "terpaksa" menjadi sasaran empuk. Belum sempat berbenah, mereka langsung terlibat baku tembak dengan Baret Coklat mantan Tropaz, serdadu Portugal. Sama sekali tidak ada waktu untuk konsolidasi. Tiga tim yang ditunjuk, berusaha keras menyebar memulai operasi pembebasan kantor gubernur, pelabuhan, dan lapangan terbang. Tembak-menembak bergemuruh di mana-mana. Walaupun sudah mengetahui kedatangan pasukan Indonesia, Fretilin tetap kocar-kacir. Jika mau bersabar, tentu Indonesia bisa mengambil keuntungan dengan perencanaan matang karena Fretilin tidak pernah memprediksi Indonesia akan menyerbu dari udara. Perkiraannya serbuan dari perbatasan.

Karena saat penerjunan pesawat dihujani tembakkan ditambah obstacle bukit setinggi 1.500 kaki di ujung runway Dili, Rajawali flight harus belok ke kanan arah pantai untuk terbang ke Kupang. Karena juga DZ cukup pendek dan interval penerjunan terlalu lama waktunya cuma satu menit 79 orang dari 720 pasukan para batal terjun, termasuk komandan Tim-C Lettu Luhut Panjaitan.

Tidak hanya mengenai pasukan, tembakkan dari bawah juga menghantam empat Hercules. Bahkan, load master T-1312 yang diterbangkan Letkol Wello, Pelda Wardjijo, tewas diterjang peluru yang menembus badan pesawat. Pesawat Suakadirul juga tak luput. Peluru merusak navigation compass dan auxiliary hydraulic pump. Peluru juga menembus kaca kokpit di sisi kiri Suakadirul. Secangkir kopi yang ditaruhnya, terlontar ke depan kokpit dan membasahi dahi sang captain. Crew sempat menduga captain-nya tertembak. Apalagi setelah melihat cairan kental meleleh di kepalanya. "Ternyata cuma kopi."

Dua pesawat Hercules lainnya yang diterbangi Letkol Pnb. Sudji Harsono dan Kol.Pnb. Sukandar, turut tertembak. Kesembilan pesawat plus 79 anggota yang batal terjun, meneruskan penerbangan ke Kupang selama 48 menit. Dari Kupang, setelah memeriksa kondisi pesawat yang tertembak, sortie kedua dilanjutkan menggunakan lima Hercules. Komoro ditentukan sebagai DZ. Karena empat pesawat tidak laik terbang, setengah kekuatan Batalion 502, tidak terangkut. Jam 07.45, sortie kedua diterjunkan di Komoro dengan aman karena Fretilin telah dipukul mundur ke perbukitan di selatan Dili. Suakadirul mengganti pesawatnya dengan T-1305.

Salah tembak

Sortie kedua berhamburan ke luar pesawat. Entah siapa yang memerintahkan, saat melayang di udara, 400 lebih Baret Hijau menghujani dengan tembakan dan granat iring-iringan pasukan yang sedang bergerak menuju lapangan terbang Dili. Seperti sortie pertama, tembak-menembak kembali terulang. Saling membidik terus berlangsung tanpa kedua pihak menyadari, mereka adalah teman. Di bawah Marinir yang habis memukul mundur Fretilin di sepanjang garis pantai, yang melayang, Kostrad. Untunglah Marinir cepat berinisiatif mengakhiri tembak-menembak (friendly fire), dengan mengibarkan "Merah Putih". Untung lagi, tidak ada korban.

Suakadirul mengetahui kesalahpahaman itu beberapa saat kemudian. Setibanya di Penfui, Rajawali flight mempersiapkan sortie ketiga penerjunan pasukan Kostrad yang masih tersisa ke pinggiran barat Kota Dili. Takut kejadian tragis sortie kedua terulang kembali, Mako Operasi Seroja memutuskan membatalkan sortie ketiga.

Setelah berjuang dari jam 06.00 hingga tengah hari, Dili akhirnya dibebaskan. Fretilin mundur ke perbukitan selatan kota Dili. Pemimpinnya melarikan diri ke Aileu. Lobato dan Ramos Horta hengkang ke Australia. Hanya mantan Tropaz yang berani bertahan. Petangnya, 7 Desember, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa hari itu, pukul 12.30, Dili telah dibebaskan oleh perlawanan rakyat yang dipelopori Apodeti, UDT, KOTA dan Trabalista dibantu para sukarelawan Indonesia.

Besoknya dalam evaluasi, korban dihitung. 35 orang Baret Hijau yang hampir seluruhnya dari Batalion-502/Raiders, termasuk dua mayor dan dua kapten, tewas. Dari Baret Merah, 16 orang tewas tertembak. Tiga lagi tenggelam di laut. Tiga orang yang semula hilang, mayatnya ditemukan beberapa bulan kemudian. Komandan Tim-B, Lettu Atang Sanjaya, terkena pecahan munisi AK-47-nya yang tertembak. Malang bagi rekannya, Mayor Atang Sutisna, tewas tertembak. "Ditembak sniper," ungkap Hendro. Di pihak Fretilin, korban lebih banyak lagi. Hendro Subroto mencatat dalam tulisannya yang dimuat majalah Airforces, edisi Januari 1999 di bawah judul "Drop Zone Dili", 122 tewas dan 365 orang tertawan. Operasi terus bergulir. Tiga hari kemudian, giliran Baucau dibebaskan.(ben)

dikutip dari : www.angkasa-online.com

Konfrontasi Indonesia-Malaysia ( 1962 - 1966 )

Latar Belakang

Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris, Sarawak dan Britania BorneoUtara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.

Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kepulauan Sulu..

Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.

Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.

Perang

Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi ) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.

Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Federasi Melayu resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.

Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.

Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.

Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentara Laut Diraja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia.

Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di pontian di perbatasan Johor-Malaka dan ditangkap oleh pasukan Rejimen Askar Melayu DiRaja.

Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.

Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia. Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.

Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Regiment Askar Melayu DiRaja. Dan Indonesia yang dibantu Komunis Russia dan Cina, akhirnya kalah total dengan Malaysia.

Akhir Konfrontasi

Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya kudeta. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.

Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditanda tangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.


Iklan