BannerFans.com

Mutiara Hadist

" Sesungguhnya Allah SWT. berfirman pada hari kiamat : Mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku ? hari ini akan Aku naungi ( tolong ) mereka, dimana tidak ada naungan ( pertolongan ) yang lain selain dari-Ku. " ( HR. Muslim )

Sponsors

Promo




Senin, 23 Juli 2007

Komplek Olahraga Senayan, Dalam Sejarah

Foto : Stadion Utama Senayan ketika masih dalam tahap pembangunan pada tahun 1960.

Gegap Gempitanya Piala Asia 2007 yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno untuk Babak Penyisihan Grup D dan Final memang sangat membanggakan rakyat Indonesia. Tapi Tahukah anda bahwa pembangunan Stadion Utama yang pada awalnya bernama Gelora Senayan ini sebetulnya dibangun berdasarkan proyek mercusuarnya Bung Karno.

8 Februari 1960 : di Jakarta, Presiden Soekarno menancapkan tiang pancang Stadion Utama Senayan menandai dimulainya pembangunan stadion sepakbola yang kelak akan menjadi yang terbesar di Asia. Pembangunan stadion Senayan ini menjadi puncak dari perayaan politik mercusuar Soekarno. Kompleks olahraga Senayan memang ide Soekarno. Proyek besar itu dimulai pada tengahan 1958 dan fase pertama pembangunannya tuntas pada 1962, sehingga bisa dipakai untuk penyelenggaran Asian Games IV. Uni Soviet memberikan pinjaman lunak senilai 12,5 juta dolar AS untuk pembangunan ini.

Yang diselesaikan pertama kali adalah stadion renang (selesai Juni 1961), berkapasitas 8.000 penonton. Kemudian pada Desember 1961, selesai pula stadion tenis yang berkapasitas 5.200 penonton. Pada Desember 1961 pula, stadion madya dengan kapasitas 20 ribu penonton juga selesai dibangun. Istora yang berkapasitas 10 ribu penonton selesai pada Mei 1962, yang kemudian digunakan untuk pertandingan Piala Thomas. Stadion utama sepakbola yang berkapasitas 100 ribu penonton selesai dibangun pada Juni 1962. Stadion utama beratap temu gelang berentuk oval. Stadion dikelilingi jalan lingkar sepanjang 920 meter. Lapangan sepak bola di dalamnya dikelilingi lintasan berbentuk elips dengan sumbu panjang 176,1 meter dan sumbu pendek 124,2 meter.

Selama pembangunan, Soekarno tampak begitu antusias. Dia amat rajin mengunjungi proyek mercsuarnya ini, sampai-sampai ia kadang terlibat mengurusi hal sepele, semisal batu bata dan pasir. Bahkan ketika di Karawang terjadi banjir, Soekarno tetap saja asyik “bermain” dengan proyek tersebut, sampai-sampai ketika itu Soekarno dijuluki sebagai “lurah Jakarta”.

Pada periode yang sama, persisnya pada 1960, Soekarno juga membangun mesjid Istiqlal. Pada masanya, dan bahkan hingga kini, Istiqlal tak hanya menjadi mesjid terbesar di Indonesia, tetapi juga terbesar dan termegah di kawasan Asia Tenggara.

Saat ada yang mengeluhkan kondisi rakyat yang masih susah, Sukarno menjawab, ''Biarlah dulu, nanti kalau gedung-gedung ini selesai, rakyat akan lupa semua kesusahan itu dan hanya ingat pada gedung-gedung ini.'' Soekarno juga memancangkan ambisinya dalam membangun Jakarta seraya membandingkannya dengan negara lain. Jika Mesir dapat membangun Kairo, Italia memiliki Roma, Prancis dengan Paris dan Brazil dengan Brazilia, kata Soekarno, “maka Indonesia juga harus bangga memperlihatkan Jakarta sebagai pintu masuk negara.''

Pada November 1963, Jakarta menjadi tuan rumah pesta olahraga Games of the New Emerging Forces (Ganefo) yang dibayangkan Soekarno sebagai pesta olahraga negara-negara anti-kolonialisme, semacam “olimpiade negara kiri”. Ganefo, dengan semboyan Onward! No Retreat (Maju Terus Jangan Mundur), meski diboikot sejumlah negara tapi tetap berlangsung sukses dan diikuti 2.200 atlet dari 48 negara Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa. Lebih dari 450 wartawan dari berbagai negara datang ke Senayan.

Stadion senayan bisa dibaca sebagai situs yang mengetengahkan hubungan saling pengaruh antara monumen, memori kota dan perjuangan simbolik dalam pencarian identitas dan kekuasaan. Stadion Senayan menjadi altar yang menggelar ritus-ritus politik seorang Soekarno yang anti-kolonialisme dan imperialisme. Dan Ganefo, olimpiade alternatif itu, menjadi ritus perlintasan (rites de passage) dari semua sub-sub ritus anti-kolonial yang pernah digelar sebelumnya, entah itu lewat orasi-orasinya atau pun jargon-jargonnya yang sarkastis terhadap negara-negara Barat.

Jika di podium dan mimbar-mimbar Soekarno menggelar perlawanan anti-kolonial dengan kata-kata verbal, stadion Senayan dan ritus anti-kolonial yang digelar lewat Ganefo adalah pernyataan-pernyataan politik yang simbolik, tapi karenanya justru lebih mengabadi.

dari berbagai sumber

Iklan