Dari Aceh, perjuangan Teuku Umar bersama istrinya Cut Nya' Dien dan Panglima Polem dengan gagah berani berjuang mengusir penjajahan Kolonial Belanda. Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. Sebuah ekspedisi dengan 3.000 serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Köhler dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal van Swieten berhasil merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawot yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri. Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha membebaskan para pelaut Britania yang sedang ditawan di salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut. Belanda kali ini meminta bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar. Teuku Umar diberikan gelar panglima prang besar bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya. Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur. Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri Teuku Ummar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.
Dari Minangkabau kita pasti mengenal Tuanku Imam Bonjol, yang memimpin kaum Paderi saat melawan penjajahan kolonial Belanda. Kaum Paderi adalah kaum yang menentang segala bentuk kemaksiatan seperti judi sabung ayam, minum minuman keras seperti arak, penggunaan madat atau opium dll.
Perang Paderi berlangsung tahun 1821 sampai 1837, dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi dengan kaum Adat pimpinan Datuk Sati yang dibantu Belanda dengan tujuan menghancurkan kaum Paderi yang saat itu dipimpin oleh Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang dikuasai oleh Belanda dan setahun sebelumnya, pada tahun 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap.
Sementara di Pulau Jawa, perang melawan penjajahan Belanda terjadi dimana-mana diantaranya adalah Perang Diponegoro yang dipimpin Pangeran Diponegoro yang dibantu Sentot Ali Basyah dan berlangsung tahun 1825 sampai dengan 1830. Perang besar tersebut membuat Belanda kalang kabut, selain menguras keuangan Belanda juga menguras kekuatan pasukan Belanda.
Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di Sumatera Barat menghadapi Tuanku Imam Bonjol dalam perang Paderi untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatera Barat dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua.Di bumi Kalimantan, Sultan Hidayatullah II memimpin Perang Banjar melawan Belanda. Sultan Hidayatullah II berjuang bersama rakyatnya dan dibantu Pangeran Antasari, Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati dan Kiai Puspa Yuda Negara. Namun karena kelicikan Belanda, Pangeran Hidayatullah II akhirnya ditangkap Belanda dan pada tahun 1862 diasingkan ke kota Cianjur.
Itu hanyalah catatan kecil perjuangan rakyat Indonesia dalam menentang kekuasaan penjajahan Hindia Belanda. Masih banyak lagi yang lainnya, seperti perjuangan Sisingamangaraja, Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten, Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa, Untung Surapati dan lain-lain.
Yang pasti, perjuangan para pendahulu ini diikuti terus sampai jaman kemerdekaan. Perang terus berkecamuk dimana-mana demi memperjuangkan tiap jengkal tanah air dari kekuasaan asing, baik Belanda maupun Jepang. Perlawanan rakyat Indonesia tidak pernah terhenti sedetikpun, tiap lembar nyawa siap dikorbankan untuk mengecap kehidupan bebas alam kemerdekaan.
Bung Karno, Bung Hatta, Panglima Besar Jenderal Sudirman, kemudian para Jenderal yang gugur dalam peristiwa Pemberontakan G 30 S PKI, Bung Tomo, Mohammad Toha, KH Mustopha, I Gusti Ngurah Rai, Oto Iskandardinata, Jenderal AH. Nasution, Supriyadi, Chaerul Saleh, dan masih sangat banyak lagi yang lainnya adalah tokoh-tokoh Pahlawan kita yang rela berjuang sampai titik darah penghabisan.
Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya. Untuk itu, kita wajib meneruskan perjuangan mereka dengan berbagai cara. Kita isi kemerdekaan ini dengan lebih bermanfaat demi kehidupan rakyat kita agar layak.
Budaya korupsi, budaya nepotisme, dan budaya-budaya lainnya seperti budaya pungutan liar kita basmi sampai keakar-akarnya. Jadikan Bangsa Indonesia sebagai Bangsa besar yang makmur, bangsa yang bermartabat, bangsa yang disegani dan dihormati bangsa lainnya, karena dengan itulah kita bisa berdiri tegak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar