Ketika itu anggota Volksraad teriri atas 38 anggota, 15 orang diantaranya adalah orang pribumi, anggota lainnya adalah orang Belanda, Tionghoa, Arab dan India. Namun semenjak tahun 1920-an, mayoritas anggotanya adalah pribumi.
Diawal berdirinya, Volksraad hanya mempunyai kewenangan sebagai penasihat, namun pada tahun 1927 Volksraad mempunyai kewenangan ko-legislatif bersama Gubernur Jenderal yang ditunjuk Belanda dimana Gubernur jenderal mempunyai hak veto, sehingga kewenangan Volksraad sangat terbatas.
Selain itu keanggotaan Volksraad dipilih secara tidak langsung , pada tahun 1939 hanya 2.000 orang yang mempunyai hak untuk dipilih, dan sebagian besar adalah orang Belanda dan Eropa.
Dan selama periode 1927 - 1941, Volksraad hanya pernah membuat enam Undang-Undang, dan dari enam UU itu hanya tiga yang diterima pemerintah kolonial Belanda. Sementara sebuah petisi pada masa itu yang sangat terkenal adalah Petisi Soetardjo, yang isinya mengusulkan kemerdekaan bagi Indonesia.
Petisi Soetardjo diajukan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo pada 15 Juli 1936 kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal atau Parlemen Belanda. Petisi tersebut diajukan karena semakin meningkatnya perasaan tidak puas terhadap pemerintah akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur Jenderal de Jonge. Petisi ini juga ditandatangani oleh IJ. Kasimo, GSSJ. Ratulangi, Datuk Tumenggung dan Ko Kwat Tiong.
Usulan yang terdapat dalam Petisi Soetardjo tersebut membuahkan reaksi beragam, menurut pers Belanda seperti Preanger Bode, Java Bode, Bataviaasch Nieuwsblad, usulan tentang kemerdekaan Indonesia tersebut sangatlah membahayakan, mereka menyebut petisi tersbut adalah " permainan yang berbahaya ".
Sementara bagi pers Indonesia seperti Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli dan Majalah Soeara Khatoliek, petisi tersebut patut untuk didukung.
Kembali ke Volksraad, pada saat itu selain kewenangan yang nyaris dikebiri akibat hak veto yang dimiliki Gubernur Jenderal, dalam persidanganan-pun semua aspek nyaris semuanya dikuasai oleh pemerintah kolonial, seperti bahasa yang dipakai dalam persidangan harus memakai bahasa Belanda.
Padahal sejak tahun 1928, pada Kongres Pemuda II, disepakati bahwa Bahasa Melayu yang semenjak itu dosebut Bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa persatuan sebagai salah alat perjuangan kaum pro kemerdekaan. Namun pada tahun 1938, untuk pertama kalinya Mohammad Hoesni Thamrin berpidato di Volksraad memakai Bahasa Indonesia, dan sejak itulah penggunaan Bahasa Indonesia di sidang-sidang Volksraad diperbolehkan memakai Bahasa Indonesia.
Tokoh-tokoh Indonesia yang sangat aktif di Volksraad pada saat itu diantaranya adalah HOS. Tjokroaminoto, H. Agoes Salim, Abdoel Moeis, Soetardjo, Mohammad Hoesni Thamrin, dan Oto Iskandardinata.
1 komentar:
Alles richtig so
Posting Komentar